Selasa, Juli 12, 2011

Setahun

Sudah satu tahun
Namun jauh dari genap 365 hari aku ada disana
Percayalah jika aku selalu merindu
Untuk sekedar menunggumu pulang bersama segelas teh hangat
(Yes honey, even for that simple thing...)


-Groningen, 13 Juli 2011-

Selasa, Juni 21, 2011

Anak-anak TKW itu.

"With you is where I'd rather be. But we're stuck where we are. And it's so hard, you're so far. This long distance is killing me" (Long Distance, Bruno Mars)

Lantunan lagu di atas mengungkapkan beratnya hari-hari berjauhan dengan pasangan jiwa, dan itu benar adanya...saya tidak akan membahas tentang hal ini, meskipun terkadang out of logic, namun saat ini cukuplah bahwa karena ini adalah kodrat dari Tuhan menjodohkan setiap umatnya dengan pasangan jiwanya masing-masing.

Malam ini wajah menahan segala "rasa sakit"-ku seolah tertampar lagi oleh serangkaian kisah TKW yang menuai prihatin, terlebih kasus alm. ibu Ruyati yang mendapatkan hukuman pancung di Arab Saudi dalam perjuangannya mencari nafkah dengan perngorbanan luar biasa meninggalkan suami dan anak-anaknya untuk berapa lama? setahun? dua tahun? atau bahkan 5 tahun? "tahun" adalah satuan bagi lama rata-rata para TKW itu dalam perjuangannya dengan motivasi yang mostly adalah faktor ekonomi, demi cinta untuk keluarganya.

Sebuah keluarga idealnya adalah hidup bersama dalam satu rumah bersama-sama, dan ketika itu tidak terjadi maka potensi "kepincangan" akan terbuka. Itu alamiah.
Fakta bahwa suami istri yang tinggal terpisah, dengan kehidupan seks yang tidak normal akan berpengaruh pada psikologis masing2, itu fakta. Fakta bahwa anak-anak membutuhkan kasih sayang riil dari kedua orang tuanya itu juga fakta. Suami istri yang tinggal bersama masih berpotensi untuk terjadi perselingkuhan atas nama berbagai alasan. Anak-anak yang tinggal dengan orang tua lengkap masih berpotensi untuk terjebak narkoba, free seks, kenakalan remaja dll.
Lalu apa yang dapat kita harapkan dari anak-anak saudara-saudara kita yang terpaksa menjadi TKW atau PRT yang mostly berasal dari keluarga dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah ini?
Berapa banyakkah jumlah mereka?
RIBUAN yang menjadi TKW, RIBUAN atau bahkan JUTAAN yang menjadi PRT, lalu berapa jumlah anak-anak yang ditinggal di DAERAH? dengan pendidikan minimalis yang disediakan pemerintah?
Berapa besar jumlah potensi anak-anak yang akan menjadi estafet pembangunan ke depan?
Adakah potensi mereka mengikuti jejak orang tuanya?
Adakah potensi mereka untuk menjadi kriminal?
Adakah potensi mereka menjadi pengangguran non-skilled, atau malah ada yang tidak seimbang kejiwaannya karena beban hidup yang terlalu berat?
Apakah jawaban kita untuk semua pertanyaan itu...


Mari kita bermain peran sebentar, seandainya kita menjadi mereka, dimana kita hanya bisa mendengar berita tentang kenakalan yg dilakukan oleh anak kita tanpa bisa menasehati karena kita tidak memperhatikan mereka dari hari kehari dan tidak bersama mereka ketika mereka demam atau sakit, atau sekedar bermasalah dengan teman2nya. Kita tidak bisa mendampingi suami ketika dia sakit, ketika sedang stres, dan ketika2 yang lain. Lalu apa yang kita harapkan dari jenis pekerjaan yg seperti ini?…Uang? seberapa banyakkah?...Tanpa keterpaksaan tentu ini sama sekali bukanlah pilihan!

Lalu apa sajakah yang dipikirkan dan dilakukan oleh anggota2 dewan dan pemerintah di atas sana atas fakta-fakta ini? Bertahun-tahun, kisah berulang, lagi dan lagi dengan cerita tragis yang berbeda-beda, dan masihkah mereka hanya berdebat berkepanjangan, tetap mengurus hal-hal yang tidak penting dibanding semua masalah mendasar bangsa ini?

Tuhan, rasanya aku sudah pernah berjanji untuk berhenti mengomel, namun beberapa malam ini hatiku sakit lagi, mungkin juga pengaruh PMS. Namun yach...aku hanya mampu berharap semoga anak2 mereka bisa tumbuh dan berkembang di luar perhitungan -negatif- saya di atas. Bahwa anak-anak itu akan menjadi anak2 dengan mental baja yang tidak terpengaruh lingkungan seburuk apapun, akan menjadi orang2 yang menghargai alam karena dari sanalah mereka banyak bergantung, akan menjadi orang2 yang menghargai artinya perbedaan, akan menjadi orang2 yang cerdas dan ulet karena tertempa kemiskinan dan akan menjadi ‘super kreatif’ karena ‘ketiadaan’, Amiin...

Rabu, Mei 04, 2011

DPR = wakilnya rakyat = wakilnya saya!

Pemuda 1: "MasyaAllah, malu2in banget sih anggota2 DPR itu. Udah pake duit rakyat milyaran untuk studi banding tp hasilnya mana coba? Ditanya apa, jawabnya apa. Emailnya itu loh malu2in, mosok email yahoo, sumpah gw baru tahu klo DPR itu gak punya yang resmi gitu!"

Pemuda 2: "Gw jg geregetan banget pas liat di youtube tadi. Untung aja dulu gw golput, karena gw takut kejadian yg begini"

Penjual nasi: "Eh kenapa sih kok pada ribut ama anggota DPR mas? tadi rombongan sebelumnya jg pd ngomongin itu. Emang dulu pada milih siapa mas n mbak? Kalau saya sih milih pak A, dia ngasihnya paling gede 50rb udah gitu dapet nasi bungkus, kalo pak B itu cuma ngasih duit doang, apalagi pak C dia cuma ngasih duit 20rb ama kaos"

Suami penjual nasi: "Ibu kebalik, yang ngasih 20rb ama kaos itu pak B, pak C itu ngasih 25rb"

Tukang ojek yang sedang makan ikut nyeletuk: "Kalau di kampung saya mah yang kepilih tuh pak D namanya, orangnya baik banget, dia nyumbang buat mesjid, bangunin jembatan, tukang2 ojek juga dibagi2 duit, istri saya juga dibagi jilbab pas pengajian, udah gitu dia ngasih paket bantuan buat sekolah anak2"
---------------------

Jika saat ini sebagian kita merasa "dipecundangi" oleh wakil2 kita di senayan, merasa ternyata mereka sangat tidak layak untuk mewakili kita, merasa bahwa mereka koruptor karena menghabiskan anggaran lebih dr yg semestinya dan bahkan tidak pada tempatnya, namun berapakah sebenarnya jumlah "kita" dibandingkan dengan jumlah keseluruhan rakyat Indo yang diwakili oleh tukang nasi dan tukang ojek di atas?? Jangan2 kita memang minoritas, dan mereka adalah mayoritas, sehingga tidak salah jika anggota2 dewan yang terhormat itulah yang saat ini layak menjadi wakil rakyat Indonesia dimana pengetahuan dan wawasan mayoritas rakyatnya masih "sebegitu", ditambah lagi yang minoritas ini dulu jg banyak yang golput ketika pemilu, jadi sangat wajar jika memang ini yang kita hadapi saat ini. Bukan tidak mungkin jangan2 ada saudara, kerabat, teman, temannya teman dll yg kita kenal yang termasuk dalam 70rbx16 org konstituen yang disebut pak Abdul Kadir Karding sebagai pemilih beliau dkk, yang dia bilang tidak komplain terhadap yang mereka lakukan hingga saat ini.

Bravo untuk PPIA yang dengan sangat cerdas sukses memaksa jutaan mata kita rakyat Indonesia untuk melek, untuk segera mencari cermin (untuk bercermin tentunya) dan bukan cuma mengomel

Link ke PPI Australia tentang kasus ini http://ppi-australia.org/?p=633

Selasa, Maret 08, 2011

Mimpi untuk Anak-anak Desaku

Tuhan, sudikah Engkau bercengkrama lagi denganku malam ini? Malam ini rasanya aku sudah tidak terlalu emosi, aku mampu berfikir dengan sedikit lebih jernih, dan semoga tidak bercampur dengan air mata lagi…

Tuhan, rasanya aku melihat sedikit bagian dari masa depanku. Aku mohon tolong ingatkan jika aku melihat sesuatu yang salah Ya Tuhan. Aku melihat aku ada di kampungku bersama dengan anak2 itu, berkumpul dengan mereka dan saling berbicara tentang mimpi2 mereka. Mimpi2 yang selama ini belum pernah mereka ungkapkan kepada orang lain bahkan kepada orang tua mereka. Sebelumnya aku bercerita tentang Riyanni Djangkaru seorang presenter acara petualangan di salah satu stasiun TV di negriku, aku mengatakan kepada mereka “seandainya ketika aku kecil sudah ada seseorang seperti dia dan acara TV yang seperti saat ini, mungkin aku akan bercita-cita ingin menjadi presenter seperti dia. Dia bisa mengunjungi seluruh tempat2 indah di negri ini dan menyampaikan itu kepada seluruh warga negri, betapa itu adalah satu pekerjaan mulia menyadarkan kita bahwa negri kita memiliki anugrah luar biasa dari Tuhan, yang tentunya harus kita syukuri dengan cara menjaganya”. Ah Tuhan, aku sudah melihat sedikit sorot antusiasme dari mata2 mereka, anak2 di sekolah2 kampung itu. Lalu aku melanjutkan bercerita tentang keberhasilan seorang Bob Sadino sebagai seorang petani yang penampilannya gak kotor dan tidak melulu harus berlumpur karena dia bertani dengan ilmu, juga tentang Anne Avantie dengan bisnis kebayanya, juga tentang Yunna Tan seorang pebisnis roti dan bakery atau Sonny Haji pemilik bisnis bakso paling terkenal di provinsi tempat kami tinggal. Aku juga menyampaikan bahwa ada banyaaaaak sekali profesi2 yang ada di bumi ini yang mungkin mereka tidak tahu selain hanya guru, dokter, polisi, pilot, masinis, nahkoda atau bahkan PNS yang di kampung kami itu disebut sebagai profesi. Aku bercerita lebih banyak lagi tentang contoh2 profesi yang aku harap cukup membuat mereka tertarik untuk mencari tahu dan bisa memancing mereka untuk “berani bermimpi” tentang keinginan mereka menjadi apa di masa depan.

Di lain hari kami beramai2 mengerjakan ketrampilan tangan mulai dari membentuk bermacam2 bentuk gerabah dari tanah liat yang mereka cari sendiri dari sumber2 yang semakin sedikit jumlahnya itu, kemudian ada juga yang menyulam, menjahit, membuat lampion dr kertas, tas2 dari kertas kalender, membuat peta dan hiasan dinding dari koran2 bekas, membuat kerajinan tangan dari pelepah pisang kering, memahat bambu menjadi hiasan dinding dan lain2. Kami menjadwalkan ini rutin setiap 2 minggu sekali.

Di lain hari lagi, kami berkelompok2 untuk memainkan permainan tradisional yang dulu sering aku mainkan bersama teman2 kecilku namun sekarang sudah semakin menghilang. Kami bermain gobak sodor, bentengan, patok lele, samberan, bola kasti dan lain lain. Oh Tuhan, aku baru menyadari bahwa semua permainan itu sangatlah berperan besar dalam proses pendidikan dini. Semua permainan itu mengajarkan kami akan pentingnya kerjasama, kekuatan, keuletan, strategi, dan kreatifitas yang tinggi karena di tengah keterbatasan kami harus mengoptimalkan semua ide untuk menyediakan segala prasarana untuk kami bermain. Kami memanfaatkan bambu tak terpakai, kami memanfaatkan kayu untuk membuat garis, kami memanfaatkan pucuk2 daun sebagai alat untuk bermain (aku lupa nama permainannya apa he2), dan kami juga memanfaatkan kertas kertas bekas untuk membentuk bola kasti. Dan yang pasti kami ingin memenangkan setiap pertandingan, yah kami ingin menjadi pemenang. Dan akhirnya kami semua kelelahan, berkeringat, namun kami semua tertawa bahagia. Kami juga menjadwalkan ini 2 minggu sekali.

Di sela2 itu semua Tuhan…aku juga berkumpul dengan para orang tua mereka. Aku menyampaikan niatku kepada mereka. Aku menyampaikan kegelisahanku kepada mereka. Aku menyampaikan pengalaman2ku selama ini dan pelajaran2 apa yang aku terima dan aku ambil dan ingin aku dedikasikan kepada anak2 di kampungku. Aku adalah anak yang lahir dan besar di kampung yang sama dengan anak2 mereka. Aku juga bersekolah di sekolah yang sama dengan anak2 mereka, diajar oleh guru2 yang sama. Jika aku pernah diberikan kesempatan oleh Tuhan untuk menikmati rezeki yang luar biasa selama ini, maka sekarang adalah saatnya aku berbagi kepada mereka, bahwa anak2 mereka juga pasti layak mendapatkan sesuatu melebihi dari apa yang aku dapatkan. Aku tidak ingin mengajari mereka namun hanya sedikit mengingatkan bahwa tantangan untuk anak2 di era saat ini sangatlah berat dibandingkan dengan masa2 aku kecil. Anak2 harus berjuang di tengah maraknya pornografi, konsumerisme, dan tidak siapnya pemerintah dalam menyediakan pendidikan yang benar2 patut bagi mereka. “Lalu apa yang harus kami lakukan?” Tanya mereka. “Mari kita bersama2 bergandengan tangan, ada saya, bapak ibu sekalian, bapak ibu guru, dan bapak-ibu pensiunan guru2, pak ustad, pak lurah dan semua yang ada di kampung ini kita bersama2 melakukan yang terbaik untuk anak2 kita” jawabku dengan tersenyum dan berharap penuh. “Saya tidak akan tinggal disini sepenuhnya, karena suami saya tidak tinggal disini tapi insyaAllah saya berjanji untuk mendampingi hingga semua ini berjalan dengan baik”.

Setelah itu Tuhan, kami bersama2 mendirikan perpustakaan, kami menyumbang berapapun semampu kami untuk mengisi perpustakaan itu. Kami juga menyediakan satu papan koran di salah satu lokasi strategis, sehingga anak2 sekolah, bapak ibu dan siapapun bisa membaca koran setiap hari tanpa harus berlangganan sendiri. Dan itu semua dikelola oleh anak2 pemuda pemudinya.

Kami juga mengadakan pertemuan rutin bulanan untuk sekedar berbagi informasi khususnya dengan ibu2, dan kami menyebut ini sebagai forum sekolah ibu. Ibu memiliki peran yang sangat-sangat penting, sehingga harus selalu mengupdate pengetahuan untuk sedikit mengimbangi anak2 mereka berpacu dengan kemajuan jaman. Aku berharap dari forum ini akan ada ide2 usaha kecil yang bernilai ekonomi sehingga dapat menambah penghasilan bagi mereka.

Tuhan, aku tidak ingin melakukan ini sebagai pelampiasan keinginan sesaat saja. Aku ingin ini dapat berjalan dengan baik sehingga sedikit memberikan alternatif kegiatan dan konsentrasi anak2 itu yang selama ini telah dikuasai oleh TV (sinetron), internet (facebook), HP (sms dan video), film2 dari VCD bajakan, pacaran, nongkrong dan acara lain yang tidak cukup bermanfaat bagi kehidupan mereka.
Oh ya, hal penting yang menjadi harapanku adalah bahwa mereka, anak-anak itu, dapat menemukan mimpi2 mereka yang tidak melulu harus lewat sekolah formal namun harus sesuai dengan hati, minat, dan bakat mereka. Membiarkan mereka memilih masa depan mereka sehingga bisa profesional dalam menuntut ilmu dan menjalankan pekerjaan mereka kedepannya. Itu semua untuk kehidupan yang lebih baik, dan untuk negriku yang lebih baik.

Aku menginginkan ada upaya membangun integrated education system yang melibatkan seluruh stake holders mulai dari anak-orang tua-guru-dan seluruh masyarakat. Aku berharap ini akan berjalan dengan baik, dan berhasil sehingga bisa menjadi satu format program bagi kampung2 yang lain, sehingga semakin banyak anak2 yang “terselamatkan” dari dunia kapitalis yang ada saat ini.

Edisi BERMIMPI
Groningen, 3 Maret 2011, 11.50 pm

Minggu, Februari 27, 2011

si "Anak Mataharie" yang sedang galau

Galau dan gelisah...mengapa dua perasaan ini semakin sering datang dalam hari2ku?
Apa karena aku si Anak Matahari? sementara 6 bulan disini aku jarang bertemu dengan the real matahari? Dia jarang muncul, dan sekalinya muncul aku tidak merasakan panas atau bahkan hangatnya...

Mungkin itu sebabnya. Aku merindukan matahari. Aku merindukan hangat dan panasnya. Aku merindukan semangatku yang dulu.

Groningen, 28 Februari 2011.

Senin, Januari 31, 2011

Bahaya salah jurusan?

Tersesat! Yup…terlebih lagi jika kita salah memilih jurusan ketika naik bis di terminal or salah memilih track kereta ketika di stasiun. Namun tersesat disini masih dapat “dinikmati” apalagi jika kita tersesat ke perjalanan yg ternyata ternyata penuh dg hal hal yg menarik, seperti yg Paulo Coelho katakan “Sometime the "wrong" train can take us to a fantastic place”, unpredictable journey memang terkadang tdk memberikan banyak pilihan selain menikmati saja apalagi kalau itu membawa kita dalam fantastic journey…

Namun, bagaimana jika konteks salah jurusan ini adalah salah memilih jurusan ketika sekolah? Minat bakat di bidang sosial tp sekolah jurusan eksakta atau sebaliknya, dan bahkan tersesatnya bisa terus berlanjut hingga kuliah atau hingga bekerja. Di negri kita, hal ini akan banyak ditemui karena penjurusan dilakukan ketika SMA dan dengan aturan main yg msh “luas”, jadi kita terpaksa mempelajari sesuatu yg mgkin sebenarnya tdk kita sukai atau kita butuhkan bertahun2. Seperti anak2 yg minat bakatnya di bidang olahraga, seni, desain, memasak dll misalnya, karena penjurusan ini tidak begitu favorit, tidak umum dan tidak “menjanjikan = baca gambling”, maka tetap mereka harus menjalani SMP, SMA, kuliah. Saat ini aku baru menyadari bahwa sistem itu tampak membuang2 umur.

Contoh real adalah aku. Aku akan memulai bercerita ttg perjalanan “salah jurusan” yg aku alami. Ketika SD, aku tidak tahu cita-citaku yg sebenarnya itu apa. Standar seperti yg lain satu saat ingin jadi guru atau dokter, dan pernah ingin menjadi penyanyi juga. Tidak pernah terbersit dlm fikiran ingin menjadi petani atau penyiar TV. Karena dulu yg umum di sebut oleh ibu/bpk guru adalah profesi2 standar termasuk polisi dan pilot, maka ya hanya itulah pilihan yg kami punya. Selanjutnya, ketika SMP, masih tetap tidak ada perubahan berarti dalam urusan per-MIMPI-an, belum memiliki ambisi ingin menjadi apa. Ketika SMA, masih sama. Hanya satu bekal yg kupunya kalau aku lebih suka pelajaran eksakta matematika dan kimia (tanpa fisika dan biologi), karena aku tidak memiliki daya ingatan yg baik utk mata pelajaran sosial. Namun pada saat itu sebenarnya sudah sedikit mengerucut kalau ingin menjadi guru seperti kedua orang tua, yach mungkin guru kimia atau matematika.

Berlanjut hingga lulus dan akan kuliah. Ternyata aku masih bingung ketika akan memilih jurusan. Ingin menjadi guru namun pada saat itu jurusan keguruan tidak begitu diminati, kurang keren dibandingkan jurusan teknik, kedokteran, hubungan internasional dll. Padahal ibuku sudah merayuku untuk masuk fak keguruan saja, dan aku dengan sangat tegas menolak. Alhasil, hanya dengan berdasarkan faktor “keren” aku memilih jurusan teknik kimia, 1: fak teknik tampak keren/macho dan 2: krn aku suka kimia, dan kenapa di Surabaya hanya karena aku ingin lebih tahu ttg Jawa Timur daerah asal kedua org tuaku.

Well, baru mungkin 2 bulan aku sudah merasakan bahwa aku sudah “salah jurusan”. Mata kuliahnya gak banyak kimia tapi fisika, dan ternyata outputnya lebih banyak diarahkan ke industri. OMG. Kemudian aku mengajukan utk pindah jurusan ke orang tuaku, namun orang tuaku hanya menjawab “dulu kamu memilih dg sendiri, tanpa dipaksa, sudah disarankan utk yg lain tp menolak, sekarang tanggung jawab, selesaikan”. Ya sudahlah. Terpaksa aku menyelesaikan kuliah hingga akhirnya lulus juga.

Setelah lulus, gak berminat untuk apply2 ke perusahaan2, karena memang masih gamang inginnya kemana. Ingin jd guru anak2, tp kok ST alias sarjana teknik, mana ada SD/TK yg akan menerima, dan juga rugi sekali sudah susah-susah kuliah teknik sampe rambut menjelang rontok. Sempat melirik ke program master Psikologi Anak di UI, langsung tertahan karena pertanyaan “eh? Nyambungnya dimana? Emang bisa dg background kimia??”, iya juga yaaa…

Trus?? Aku pengen jadi guru, atau petani tp kok gak ada yg nyambung. Mencoba bekerja di industri, 2 kali pindah tempat, dan sempat di salah satu perusahaan multinasional yang pernah kuimpikan ketika kuliah (walau memang tidak ingin lama-lama), selain aku gak suka dengan ritme 8-5 alias dari jam 8 ke jam 5, namun itu semua tidak dapat "memenuhi kepuasan jiwa" melainkan hanya isi dompet. Lagi-lagi aku lebih suka bergaul dg dunia “pendidikan anak2”, tp lagi2 ST kok guru SD. Kemudian jd dosen, satu2nya pilihan yg paling dekat dg “guru”, walaupun bukan guru anak2 tapi aktifitasnya mirip. Namun impianku untuk tetap berkiprah di pendidikan anak2 masih tetap menyala2, khususnya di pedesaan. Mencoba menyediakan perpustakaan mini di rumah untuk bisa diakses anak2 semenjak baru lulus dr kuliah, meskipun sekarang koleksi semakin berkurang karena tidak disertai manajemen dalam mengelolanya, jadi lebih banyak yg dipinjam dan tak kembali.

Dan saat ini ketika sedang menempuh program master dg jurusan yg sama di negri kincir angin, melihat teman2 kuliah dan juga masyarakat dengan culture yang begitu mapan, aku menjadi iri. Aku langsung membandingkan dengan diriku sendiri dan dengan negriku secara umum. Sistem pendidikannya. Daya dan gaya belajar mereka dll.

Setelah lirak lirik kanan kiri, ngobrol kanan kiri, aku tersadar, dan aku tidak ingin apa yg menimpa diriku terjadi pd banyak anak2 lain di negriku. Aku tidak ingin umur mereka tersia2, aku ingin berbagi mimpi, melakukan sesuatu. Mimpiku utk mengenalkan negri dan dunia kepada adik2 khususnya di pedesaan yang sulit mengakses info2 baik dari sekolah, apalagi keluarga dan masyarakat. Mereka harus memulai mimpi mereka sedini mungkin, dan mengupayakan pencapaiannya juga dari sedini mungkin. Mereka harus berani bermimi, karena mimpi adalah gratis, mimpi adalah doa. Jika aku yg juga wong ndeso, yg telat “serius bermimpi”, aku juga bisa ada disini saat ini, tentu mereka yg bisa bermimpi sedari kecil akan dapat mencapai yg jauh jauh jauh lebih dari apa yg Tuhan berikan ke aku. Dan besar harapan akan tumbuh lebih banyak orang2 yang profesional dalam membangun bangsa, karena mereka akan bersekolah dan bekerja dg sepenuh hati, tidak ada lagi salah jurusan.

Jika Tuhan berkenan mempergunakan tangan, otak dan hatiku untuk berjuang di jalan ini, aku senantiasa memohon petunjuk dan kemudahan untuk memulai dan merealisasikannya. Sungguh aku ingin melihat negriku lebih baik, aku ingin melihat binar optimis di mata anak2 yg penuh mimpi untuk masa depannya, masa depan Ibu Pertiwi yang lebih baik...

Groningen, Januari 2011.

Jumat, Januari 28, 2011

Selamat Ulang Tahun

Menguntai doa semoga kasih sayang Allah senantiasa tercurah untukmu, suamiku...
Maaf untuk tidak bersamamu kemarin, saat ini, dan beberapa waktu mendatang...

Doa dan peluk cium selalu dari belahan dunia yg lain...
Luv u

-26 Januari 2011 Waktu Negriku-

Sabtu, Januari 22, 2011

Just a thought (1)

“Lumayan” sukses dg satu project mata kuliah tentang sistem perlistrikan di Indonesia dianalisis dr sudut pandang sustainability jd terfikir macem2. Studi yg kami lakukan kemarin ditekankan pada kondisi saat ini dan skenario apa yang bisa dikonstruksi dari kondisi, potensi natural, teknologi yg tersedia dengan melihat semua stakeholder yang dapat diperhitungkan, dan tentu saja kami dibekali dengan beberapa macam tools untuk media analisis. Dari project ini membuatku berfikir lebih lanjut tentang peluang yg bisa dimanfaatkan dari keberadaan mahasiswa yg sedang studi di luar.

Awalnya case yang diberikan utk grup kami adalah kondisi perlistrikan di Eropa secara umum, dan memilih salah satu negara sebagai fokusnya. Namun setelah diskusi lebih lanjut, dosen, asisten dan anggota grup sepakat dengan Indonesia (which is melenceng dr tujuan), karena dosen merasa itu lebih menarik karena bbrp hal di antaranya fakta bahwa “Indonesia sebagai anggota APEC, telah berganti menjadi net importer dan bukan exporter lg”, bagaimana bisa? Dan “bagaimana masih ada 1/3 dari negara yg masih belum terakses listrik sementara kita memiliki potensi energi yang cukup besar?”. Dan akhirnya, jadilah selama 2 bulan grup kami melakukan project ttg Indonesia, dan hasilnya untukku pribadi, at least aku jadi “lebih mengerti” tentang negeriku.

Hal yg terfikir olehku adalah mungkin pemerintah bisa memberdayakan mahasiswa2 yang sedang studi di luar untuk melakukan project2 sebagai studi banding praktis (mungkin bs disebut preliminary study) untuk mengkomparasi sistem di negri kita dan sistem di negara tempat studi. Sebagai contoh, jika ingin mempelajari sistem pertanian di Belanda misalnya, bisa meminta beberapa mahasiswa yang sedang studi di Wageningen (WUR) untuk melakukan studi tentang itu, lengkap dengan konstruksi skenario apa yang bisa atau seharusnya bisa diadopsi untuk dilakukan di Indonesia. Atau tentang sistem manajemen kesehatan, manajemen distribusi obat2an, sistem transportasi, sistem persampahan, pendidikan, pendidikan seks dll. Project bisa dilakukan di sela2 kuliah atau ketika libur atau kapanpun mahasiswa bisa, dan bisa berbagi tugas siapa menganalisis apa. Tentu saja harus ada reward untuk itu, alihkan anggaran dari membiayai studi banding anggota dewan ke gerakan ini. Aku pikir ini akan jauh lebih efektif dibandingkan mengirimkan rombongan anggota dewan utk melakukan studi banding, tp cukup kirim 1 org saja. Dari sisi anggaran dan keefektifan, dan paling penting dapat dipertanggungjawabkan, aku pikir akan jauh lebih bisa dioptimalkan. Ini jika pemerintah mau lebih serius untuk melakukan perubahan. Menggerakkan putra putri bangsa untuk “bringing knowledge & value to Indonesia….” alias untuk nyontek alias untuk sekaligus jadi "mata-mata" di negeri orang ketika menempuh studi...^_^

(sangat menghayalkah aku? mungkin...)

Groningen, 22 Januari 2011.

Senin, Januari 10, 2011

Berbagi Mimpi (edisi 1)

Berkesempatan mengikuti pendidikan di negeri Belanda sukses menyadarkanku akan banyak hal tentang diriku. Salah satunya mengingatkanku akan mimpi-mimpi lamaku untuk melakukan sesuatu dalam upaya memberikan pendidikan dasar yang lebih baik bagi anak-anak di negeriku. Mimpi-mimpi itu begitu nyata untuk direalisasikan, meskipun entah itu langkah terbaik atau tidak, hanya tekad kuat bahwa “ada sesuatu yang salah dalam pendidikan dasar (khususnya pendidikan dasar standar di pedesaan)”, dan itu yang kualami, dan itu harus diperbaiki. Membaca buku Tottochan, The Little Girl at The Window (Tetsuko Kuronayagi), Laskar Pelangi (Andrea Hirata) dan Sekolah Berbasis Karakter (Ratna Megawangi) beberapa tahun lalu bagaikan pupuk dan siraman air yang semakin menyuburkan mimpi-mimpi itu.

Dan kini, berada dalam kelas international dengan mayoritas adalah student Belanda dan beberapa student dari negara Eropa lainnya, refleks langsung membandingkan dengan diriku, mengapa begitu berbeda? Sama sekali tidak berfikir bahwa kita memiliki intelegensia yang jauh di bawah mereka, karena meskipun tidak berada dalam rata-rata atas di kelas namun merasa cukup bisa mengikuti bersama yang lain. Sekali lagi apa yang berbeda??

Setelah beberapa hari berada di kelas otakku mulai menangkap perbedaan-perbedaan yang terasa sangat nyata. Dari cara mereka bertanya dan menjawab setiap stimulasi pertanyaan dosen tampak bahwa cara mereka berfikir sangat bebas, seolah tanpa batasan-batasan. Sama sekali tidak ada perasaan takut atau sungkan dalam mengutarakan pendapat, bahkan untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang menurutku “pertanyaan bodoh” yang rasanya tidak perlu ditanyakan. Sepanjang pengalamanku bersekolah dari SD, SMP, SMA, S1, aku tidak terbiasa untuk bebas bertanya, berpendapat, atau menjawab sebagai respon atas setiap stimulasi yang diberikan. Sebelum menunjuk tangan aku akan berfikir sejenak untuk menimbang “apakah jawaban ini benar? Apakah pertanyaan ini pantas? Apakah aku tidak akan terlihat bodoh jika bertanya atau menjawab ini? Jangan sampai malah mendapat respon ditertawakan atau bahkan dimarah oleh guru dan teman-teman sekelas”. Apakah kamu juga mengalami hal ini sepanjang kamu bersekolah kawan? Mungkin tidak semua mengalami, namun aku tahu itu mayoritas dalam sistem pendidikan kita yang berjalan selama ini.

Di sini hal itu tidak berlaku. Semua bebas bertanya, bebas berpendapat, bebas menjawab sebebas-bebasnya tanpa tekanan, bahkan untuk menjawab “saya tidak mau menjawab pertanyaan Bapak/Ibu”, dan dosen tidak akan marah, aku membayangkan jika aku menjawab dengan jawaban yang sama ke guruku dulu, wow… Namun tentunya, di negeri yang sekali lagi “sangat membebaskan” ini, semuanya beretika, sangat berkebalikan dengan negriku yang katanya negri “beragama dan beretika”.

Well, sekali lagi aku hanya ingin menampilkan pendapatku selama beberapa waktu berada dalam dunia pendidikan di negri Belanda ini. Sekali lagi ini pendapat pribadi, sebagai awam alias bukan seseorang dengan background ilmu pendidikan.

Sikap berani untuk mengungkapkan pendapat atau menagjukan pertanyaan adalah sikap yang harus ditumbuhkan semenjak kecil, sikap yang sulit sekali untuk “disulap” ketika kita menginjak dewasa. Dan tentunya ini harus ditumbuhkan dan dipupuk sejak dalam pendidikan dasar. Sekali lagi aku mencoba melirik (dengan bertanya tentang system pendidikan SD disini), dan ya itu benar, bagaimana mereka belajar di kelas sama sekali berbeda dengan cara belajarku ketika SD dulu. Aku semakin tertarik untuk mencari tahu bagaimana system pendidikan dasar mereka sehingga bisa menghasilkan manusia-manusia “beradab” (baca: beretika, cerdas, menghormati orang lain, on-time, antri, penuh dengan passion dan terpenting independen), ah sangat menarik. Dari buku Tottochan dan Pendidikan Berbasis Karakter sesungguhnya aku sudah mendapatkan banyak gambaran bagaimana pendidikan dasar seharusnya dijalankan, dan ketika disini, rasanya semakin nyata semua mimpi untuk merealisasikan pendidikan dasar yang sangat menjanjikan bagi kecemerlangan masa depan anak-anak ibu Pertiwi, untuk kecemerlangan negeriku di masa depan! Tentu saja tidak semudah dan sesederhana yang kubayangkan karena aku tidak memiliki bekal ilmu pendidikan dan juga manajemen pendidikan, apalagi modal, aku hanya melihat dari outcome yang diharapkan dan merunut kebelakang seperti apa idealnya pendidikan itu, yang bukan hanya menciptakan anak-anak dengan kemampuan matematika, IPA, IPS dll di atas rata-rata, namun jauh melebihi itu semua, pendidikan harus mampu menciptakan anak-anak yang cerdas, tangguh dan berkarakter sesuai dengan bakat dan minat yang dimiliki masing-masing anak, tanpa paksaan. I wish….

Oh ya, satu hal penting, disini spesialisasi pendidikan dilakukan semenjak sekolah dasar dan bukannya di tingkat SMA atau bahkan tingkat kuliah. Guru akan mengamati dan mengevaluasi murid apakah si anak sebaiknya tetap mengikuti sekolah umum atau sebaiknya diarahkan ke sekolah-sekolah yang lebih menekankan kepada bakat dan minat si anak. Seperti yang dialami oleh cucu salah seorang keturunan Indonesia disini, hasil evaluasi terhadap si cucu ternyata si anak sebaiknya diarahkan bukan ke sekolah umum karena prestasinya stagnan. Dan benar, ketika sudah berada di sekolah yang berbasis minat dan bakat, prestasinya meningkat tajam. Intinya, sedini mungkin melihat minat dan bakat seorang anak untuk lebih mengoptimalkan potensinya. Tidak seperti aku yang ketika lulus SMA bingung untuk memilih jurusan apa karena tidak tahu cita-cita sesungguhnya ingin kemana, dan bahkan ketika lulus kuliahpun masih bingung ingin berkarir di bidang apa. Cita-cita sesungguhnya ingin menjadi guru anak-anak namun karena pd saat lulus SMA jurusan keguruan sangat tidak bergengsi dan profesi guru juga tidak bergengsi, sehingga terlanjur menempuh jurusan teknik yang melenceng dari mimpi hampir 180 derajat. Antara cita-cita (intuisi) vs pendidikan yg telah ditempuh, antara mimpi vs realita: gak nyambung!!

Masalahnya aku yakin bahwa aku tidak mengalami ini sendiri, namun banyak yang lain yang tidak tahu bakatnya kemana, harus melakukan apa untuk mengejar mimpinya, dan bahkan banyak juga yang tidak tahu mimpinya ingin kemana. Aku tidak menginginkan ini dialami lagi oleh generasi berikutnya, aku ingin mereka tahu mimpinya, bakatnya, minatnya, dan kewajiban kitalah utk menyediakan alternatif mimpi seluas-luasnya bagi mereka, tidak cuma sebatas profesi-profesi standar seperti dokter, pilot, polisi, guru dll…namun juga petani, koki, designer, penyanyi, pemusik, seniman, dokter pohon, dll yang dilakukan dengan sepenuh hati dan professional!!

Itulah mimpiku saat ini, untuk berbagi mimpi kepada anak-anak ibu pertiwi. Caranya??

To be continued,
Groningen, 10 Januari 2011. 10.58 pm.

My strongest dream ever...still couldnt be reached :)

Tuhan,
Aku tahu Engkau Maha Tahu atas mimpi yang kuukir dalam setiap malam2ku…
Dan hari ini aku menjadi begitu iri melihat mereka menjadi bagian dalam mimpi2 itu, dan aku sama sekali belum ada di sana
Maafkan aku Tuhan…sejujurnya aku sangat iri.

Oh Tuhan, masih jauhkah perjalanan itu? Masih jauh dari cukupkah bekalku utk itu?
Oh Tuhan, sepenuh hati ku memohon ijinmu untukku berada dalam nyata atas mimpi-mimpi itu
Amien…

Groningen, Januari 2011

(To all guys dedicated themselves to our beloved Ibu Pertiwi http://www.indonesiamengajar.org/)