Pagi tadi aku baru tiba di Jakarta dari Semarang, dan sebelumnya dari Surabaya, Sidoarjo, Malang dan Kediri. Aku sangat menikmati satu minggu ini, walau kemarin sempat tertinggal kereta 5 menit, sehingga harus menunggu jadwal 5 jam kemudian dan harus membeli tiket baru, namun semua tetap aku jalani dengan tertawa karena positifnya menjadikan aku bisa bertemu dengan teman kuliah yang sudah 5-6 tahun tidak bertemu, dan aku juga masih bisa menikmati nasi gudeg Semarang di Simpang Lima.
Sampai di Jakarta, tidak terasa capek karena langsung terbayar dengan excitement mendapatkan keponakan baru, kembar cewek semua, lucu2 namun masih di inkubator di RS karena masih terlalu kecil. Siangnya, keponakan yang satu menagih jalan2 plus ada ‘titipan’ untuk membeli sesuatu di ITC Cempaka Mas. Pulang sore, kaki baru terasa pegal. Namun setelah magrib aku masih harus ke stasiun Gambir untuk membeli tiket pulang esoknya, karena ini long wiken takut juga kalau kehabisan tiket.
Dan aku berangkat sebelum makan, walaupun sebenarnya perut sudah berasa lapar, bercampur capek dan mata mengantuk. Di jalan terkena macet. Alhamdulillah sampai di Gambir masih tersisa tiket. Aku langsung membayar tiket dan membayangkan pulang, lalu membeli pecel lele dengan sambal wijen kesukaanku lalu membayar tagihan perutku. Namun baru 20 meter dari loket, ban sepeda motor bocor, alamak. Tanya ke tukang ojek, diarahkan ke tukang tambal ban di dekat pintu masuk stasiun, tepat di bawah jalan layang stasiun. Kakakku menuntun motor, aku berjalan di belakangnya sambil sedikit meratapi perutku yang lapar plus mataku yang ngantuk plus kakiku yang pegal. Cukup jauh juga ternyata, namun ketemu juga setelah bberapa kali bertanya.
”Tambal ban? Di situ bang!”, mataku mengikuti telunjuk tukang parkir di pintu masuk stasiun yang langsung memberitahu karena melihat kami menuntun motor. Aku tidak menemukan tulisan ’TAMBAL BAN’ melainkan cuma mobil2 terparkir di parkir inap stasiun. ”Iya, di situ, masuk aja”, si tukang parkir berkata lagi melihat kami kebingungan. Kami terus saja sambil mengucap terima kasih, dan berhenti ketika ada orang di antara mobil2 yang terparkir dengan beberapa alat tambal sederhana.
Di sini gelap. Penerangan hanya dari stasiun. Si mas mencari posisi yang pas agar dia bisa menemukan lubang yang bocor dan bisa menambalnya. Kakiku digigit beberapa nyamuk sekaligus. Gatal sekali.
”Saya tidak menambal ban mas, tapi saya membantu orang, cari amal. Makanya gak pake tulisan2 atau plang. Tapi kalau di lingkungan stasiun semua sudah tahu tempat ini”. Itu yang terlontar dari mulut ’si penambal ban’ yang membantu kami malam itu. ”Mas, tinggal disini?”. ”Enggak, tapi kadang saya tidur disini, karena tugas saya menjaga parkiran ini, dan menyusun (mendorong) mobil2 di parkiran inap sini”.
Di ’rumahnya’ yang outdoor ini, kulihat ada rak kayu, terdiri atas 6 loker, dan aku melihat beberapa orang datang dan pergi menaruh dan mengambil sesuatu dari masing2 loker. Ada beberapa baju tergeletak beserta beberapa barang lain, dan ada sepeda juga di situ. Rumahnya beratap jalan layang stasiun gambir. Tiba2 aku mendengar obrolan dari balik mobil2 yang terparkir di belakangku. Penasaran aku bergeser dan kulihat ada 3 wanita dewasa (ibu2) dan beberapa anak2 sedang menggelar alas untuk tidur di sela2 mobil yang terparkir.
”Anaknya udah berapa mas?” aku bertanya. ”Saya belum menikah”. ”Ohh...” aku cukup heran karena menurutku wajahnya sudah menunjukkan umur 35-an. ”Saya baru 25 tahun ini”. ”Saya belum siap menikah. Takut keteteran. Saya juga masih membiayai ponakan di kampung di Purworejo. Kalau saya menikah nanti yang di kampung bingung”. Aku sempat berfikir salah satu dari anak2 yang akan tidur itu adalah anaknya, ternyata bukan.
Kakiku masih digigitin nyamuk, tapi aku tidak berani bereaksi seperti biasa terhadap mereka kali ini, karena aku mengingat anak2 dan ibu2 yang tidur di sela2 mobil itu apakah mereka juga sempat memakai lotion anti nyamuk, rasanya tidak, namun anak2 itu juga tidak mengeluh gatal.
Beberapa menit kemudian, ban sudah tertambal. Si mas tidak mematok harga untuk pertolongan yang dilakukannya. Kami siap untuk pulang. Aku tidak berani mengeluh lapar walaupun si cacing perutku sudah menjerit2 karena sudah terlambat beberapa jam. Aku tidak berani mengeluh kakiku gatal, karena membayangkan anak2 itu mungkin sudah digigit ratusan nyamuk saat ini. Aku tidak berani mengeluh capek, karena anak2 dan ibu2 itu mungkin sudah tidak sempat lagi merasakan capek dan gatal karena gigitan nyamuk karena memang sudah terlalu capek sehingga langsung tertidur di sela2 mobil yang terparkir. Aku tidak berani mengeluh karena nanti malam harus kepanasan karena AC di rumah sedang rusak, karena anak2 dan ibu2 itu bahkan tidur dengan dinding kendaraan2 yang terparkir dan atap jalan layang stasiun. Aku tidak berani mengeluh lagi malam ini.
Stasiun Gambir. 4 Mei 2008.
Film Sharkwater Extinction
3 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar