Senin, Januari 31, 2011

Bahaya salah jurusan?

Tersesat! Yup…terlebih lagi jika kita salah memilih jurusan ketika naik bis di terminal or salah memilih track kereta ketika di stasiun. Namun tersesat disini masih dapat “dinikmati” apalagi jika kita tersesat ke perjalanan yg ternyata ternyata penuh dg hal hal yg menarik, seperti yg Paulo Coelho katakan “Sometime the "wrong" train can take us to a fantastic place”, unpredictable journey memang terkadang tdk memberikan banyak pilihan selain menikmati saja apalagi kalau itu membawa kita dalam fantastic journey…

Namun, bagaimana jika konteks salah jurusan ini adalah salah memilih jurusan ketika sekolah? Minat bakat di bidang sosial tp sekolah jurusan eksakta atau sebaliknya, dan bahkan tersesatnya bisa terus berlanjut hingga kuliah atau hingga bekerja. Di negri kita, hal ini akan banyak ditemui karena penjurusan dilakukan ketika SMA dan dengan aturan main yg msh “luas”, jadi kita terpaksa mempelajari sesuatu yg mgkin sebenarnya tdk kita sukai atau kita butuhkan bertahun2. Seperti anak2 yg minat bakatnya di bidang olahraga, seni, desain, memasak dll misalnya, karena penjurusan ini tidak begitu favorit, tidak umum dan tidak “menjanjikan = baca gambling”, maka tetap mereka harus menjalani SMP, SMA, kuliah. Saat ini aku baru menyadari bahwa sistem itu tampak membuang2 umur.

Contoh real adalah aku. Aku akan memulai bercerita ttg perjalanan “salah jurusan” yg aku alami. Ketika SD, aku tidak tahu cita-citaku yg sebenarnya itu apa. Standar seperti yg lain satu saat ingin jadi guru atau dokter, dan pernah ingin menjadi penyanyi juga. Tidak pernah terbersit dlm fikiran ingin menjadi petani atau penyiar TV. Karena dulu yg umum di sebut oleh ibu/bpk guru adalah profesi2 standar termasuk polisi dan pilot, maka ya hanya itulah pilihan yg kami punya. Selanjutnya, ketika SMP, masih tetap tidak ada perubahan berarti dalam urusan per-MIMPI-an, belum memiliki ambisi ingin menjadi apa. Ketika SMA, masih sama. Hanya satu bekal yg kupunya kalau aku lebih suka pelajaran eksakta matematika dan kimia (tanpa fisika dan biologi), karena aku tidak memiliki daya ingatan yg baik utk mata pelajaran sosial. Namun pada saat itu sebenarnya sudah sedikit mengerucut kalau ingin menjadi guru seperti kedua orang tua, yach mungkin guru kimia atau matematika.

Berlanjut hingga lulus dan akan kuliah. Ternyata aku masih bingung ketika akan memilih jurusan. Ingin menjadi guru namun pada saat itu jurusan keguruan tidak begitu diminati, kurang keren dibandingkan jurusan teknik, kedokteran, hubungan internasional dll. Padahal ibuku sudah merayuku untuk masuk fak keguruan saja, dan aku dengan sangat tegas menolak. Alhasil, hanya dengan berdasarkan faktor “keren” aku memilih jurusan teknik kimia, 1: fak teknik tampak keren/macho dan 2: krn aku suka kimia, dan kenapa di Surabaya hanya karena aku ingin lebih tahu ttg Jawa Timur daerah asal kedua org tuaku.

Well, baru mungkin 2 bulan aku sudah merasakan bahwa aku sudah “salah jurusan”. Mata kuliahnya gak banyak kimia tapi fisika, dan ternyata outputnya lebih banyak diarahkan ke industri. OMG. Kemudian aku mengajukan utk pindah jurusan ke orang tuaku, namun orang tuaku hanya menjawab “dulu kamu memilih dg sendiri, tanpa dipaksa, sudah disarankan utk yg lain tp menolak, sekarang tanggung jawab, selesaikan”. Ya sudahlah. Terpaksa aku menyelesaikan kuliah hingga akhirnya lulus juga.

Setelah lulus, gak berminat untuk apply2 ke perusahaan2, karena memang masih gamang inginnya kemana. Ingin jd guru anak2, tp kok ST alias sarjana teknik, mana ada SD/TK yg akan menerima, dan juga rugi sekali sudah susah-susah kuliah teknik sampe rambut menjelang rontok. Sempat melirik ke program master Psikologi Anak di UI, langsung tertahan karena pertanyaan “eh? Nyambungnya dimana? Emang bisa dg background kimia??”, iya juga yaaa…

Trus?? Aku pengen jadi guru, atau petani tp kok gak ada yg nyambung. Mencoba bekerja di industri, 2 kali pindah tempat, dan sempat di salah satu perusahaan multinasional yang pernah kuimpikan ketika kuliah (walau memang tidak ingin lama-lama), selain aku gak suka dengan ritme 8-5 alias dari jam 8 ke jam 5, namun itu semua tidak dapat "memenuhi kepuasan jiwa" melainkan hanya isi dompet. Lagi-lagi aku lebih suka bergaul dg dunia “pendidikan anak2”, tp lagi2 ST kok guru SD. Kemudian jd dosen, satu2nya pilihan yg paling dekat dg “guru”, walaupun bukan guru anak2 tapi aktifitasnya mirip. Namun impianku untuk tetap berkiprah di pendidikan anak2 masih tetap menyala2, khususnya di pedesaan. Mencoba menyediakan perpustakaan mini di rumah untuk bisa diakses anak2 semenjak baru lulus dr kuliah, meskipun sekarang koleksi semakin berkurang karena tidak disertai manajemen dalam mengelolanya, jadi lebih banyak yg dipinjam dan tak kembali.

Dan saat ini ketika sedang menempuh program master dg jurusan yg sama di negri kincir angin, melihat teman2 kuliah dan juga masyarakat dengan culture yang begitu mapan, aku menjadi iri. Aku langsung membandingkan dengan diriku sendiri dan dengan negriku secara umum. Sistem pendidikannya. Daya dan gaya belajar mereka dll.

Setelah lirak lirik kanan kiri, ngobrol kanan kiri, aku tersadar, dan aku tidak ingin apa yg menimpa diriku terjadi pd banyak anak2 lain di negriku. Aku tidak ingin umur mereka tersia2, aku ingin berbagi mimpi, melakukan sesuatu. Mimpiku utk mengenalkan negri dan dunia kepada adik2 khususnya di pedesaan yang sulit mengakses info2 baik dari sekolah, apalagi keluarga dan masyarakat. Mereka harus memulai mimpi mereka sedini mungkin, dan mengupayakan pencapaiannya juga dari sedini mungkin. Mereka harus berani bermimi, karena mimpi adalah gratis, mimpi adalah doa. Jika aku yg juga wong ndeso, yg telat “serius bermimpi”, aku juga bisa ada disini saat ini, tentu mereka yg bisa bermimpi sedari kecil akan dapat mencapai yg jauh jauh jauh lebih dari apa yg Tuhan berikan ke aku. Dan besar harapan akan tumbuh lebih banyak orang2 yang profesional dalam membangun bangsa, karena mereka akan bersekolah dan bekerja dg sepenuh hati, tidak ada lagi salah jurusan.

Jika Tuhan berkenan mempergunakan tangan, otak dan hatiku untuk berjuang di jalan ini, aku senantiasa memohon petunjuk dan kemudahan untuk memulai dan merealisasikannya. Sungguh aku ingin melihat negriku lebih baik, aku ingin melihat binar optimis di mata anak2 yg penuh mimpi untuk masa depannya, masa depan Ibu Pertiwi yang lebih baik...

Groningen, Januari 2011.

Jumat, Januari 28, 2011

Selamat Ulang Tahun

Menguntai doa semoga kasih sayang Allah senantiasa tercurah untukmu, suamiku...
Maaf untuk tidak bersamamu kemarin, saat ini, dan beberapa waktu mendatang...

Doa dan peluk cium selalu dari belahan dunia yg lain...
Luv u

-26 Januari 2011 Waktu Negriku-

Sabtu, Januari 22, 2011

Just a thought (1)

“Lumayan” sukses dg satu project mata kuliah tentang sistem perlistrikan di Indonesia dianalisis dr sudut pandang sustainability jd terfikir macem2. Studi yg kami lakukan kemarin ditekankan pada kondisi saat ini dan skenario apa yang bisa dikonstruksi dari kondisi, potensi natural, teknologi yg tersedia dengan melihat semua stakeholder yang dapat diperhitungkan, dan tentu saja kami dibekali dengan beberapa macam tools untuk media analisis. Dari project ini membuatku berfikir lebih lanjut tentang peluang yg bisa dimanfaatkan dari keberadaan mahasiswa yg sedang studi di luar.

Awalnya case yang diberikan utk grup kami adalah kondisi perlistrikan di Eropa secara umum, dan memilih salah satu negara sebagai fokusnya. Namun setelah diskusi lebih lanjut, dosen, asisten dan anggota grup sepakat dengan Indonesia (which is melenceng dr tujuan), karena dosen merasa itu lebih menarik karena bbrp hal di antaranya fakta bahwa “Indonesia sebagai anggota APEC, telah berganti menjadi net importer dan bukan exporter lg”, bagaimana bisa? Dan “bagaimana masih ada 1/3 dari negara yg masih belum terakses listrik sementara kita memiliki potensi energi yang cukup besar?”. Dan akhirnya, jadilah selama 2 bulan grup kami melakukan project ttg Indonesia, dan hasilnya untukku pribadi, at least aku jadi “lebih mengerti” tentang negeriku.

Hal yg terfikir olehku adalah mungkin pemerintah bisa memberdayakan mahasiswa2 yang sedang studi di luar untuk melakukan project2 sebagai studi banding praktis (mungkin bs disebut preliminary study) untuk mengkomparasi sistem di negri kita dan sistem di negara tempat studi. Sebagai contoh, jika ingin mempelajari sistem pertanian di Belanda misalnya, bisa meminta beberapa mahasiswa yang sedang studi di Wageningen (WUR) untuk melakukan studi tentang itu, lengkap dengan konstruksi skenario apa yang bisa atau seharusnya bisa diadopsi untuk dilakukan di Indonesia. Atau tentang sistem manajemen kesehatan, manajemen distribusi obat2an, sistem transportasi, sistem persampahan, pendidikan, pendidikan seks dll. Project bisa dilakukan di sela2 kuliah atau ketika libur atau kapanpun mahasiswa bisa, dan bisa berbagi tugas siapa menganalisis apa. Tentu saja harus ada reward untuk itu, alihkan anggaran dari membiayai studi banding anggota dewan ke gerakan ini. Aku pikir ini akan jauh lebih efektif dibandingkan mengirimkan rombongan anggota dewan utk melakukan studi banding, tp cukup kirim 1 org saja. Dari sisi anggaran dan keefektifan, dan paling penting dapat dipertanggungjawabkan, aku pikir akan jauh lebih bisa dioptimalkan. Ini jika pemerintah mau lebih serius untuk melakukan perubahan. Menggerakkan putra putri bangsa untuk “bringing knowledge & value to Indonesia….” alias untuk nyontek alias untuk sekaligus jadi "mata-mata" di negeri orang ketika menempuh studi...^_^

(sangat menghayalkah aku? mungkin...)

Groningen, 22 Januari 2011.

Senin, Januari 10, 2011

Berbagi Mimpi (edisi 1)

Berkesempatan mengikuti pendidikan di negeri Belanda sukses menyadarkanku akan banyak hal tentang diriku. Salah satunya mengingatkanku akan mimpi-mimpi lamaku untuk melakukan sesuatu dalam upaya memberikan pendidikan dasar yang lebih baik bagi anak-anak di negeriku. Mimpi-mimpi itu begitu nyata untuk direalisasikan, meskipun entah itu langkah terbaik atau tidak, hanya tekad kuat bahwa “ada sesuatu yang salah dalam pendidikan dasar (khususnya pendidikan dasar standar di pedesaan)”, dan itu yang kualami, dan itu harus diperbaiki. Membaca buku Tottochan, The Little Girl at The Window (Tetsuko Kuronayagi), Laskar Pelangi (Andrea Hirata) dan Sekolah Berbasis Karakter (Ratna Megawangi) beberapa tahun lalu bagaikan pupuk dan siraman air yang semakin menyuburkan mimpi-mimpi itu.

Dan kini, berada dalam kelas international dengan mayoritas adalah student Belanda dan beberapa student dari negara Eropa lainnya, refleks langsung membandingkan dengan diriku, mengapa begitu berbeda? Sama sekali tidak berfikir bahwa kita memiliki intelegensia yang jauh di bawah mereka, karena meskipun tidak berada dalam rata-rata atas di kelas namun merasa cukup bisa mengikuti bersama yang lain. Sekali lagi apa yang berbeda??

Setelah beberapa hari berada di kelas otakku mulai menangkap perbedaan-perbedaan yang terasa sangat nyata. Dari cara mereka bertanya dan menjawab setiap stimulasi pertanyaan dosen tampak bahwa cara mereka berfikir sangat bebas, seolah tanpa batasan-batasan. Sama sekali tidak ada perasaan takut atau sungkan dalam mengutarakan pendapat, bahkan untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang menurutku “pertanyaan bodoh” yang rasanya tidak perlu ditanyakan. Sepanjang pengalamanku bersekolah dari SD, SMP, SMA, S1, aku tidak terbiasa untuk bebas bertanya, berpendapat, atau menjawab sebagai respon atas setiap stimulasi yang diberikan. Sebelum menunjuk tangan aku akan berfikir sejenak untuk menimbang “apakah jawaban ini benar? Apakah pertanyaan ini pantas? Apakah aku tidak akan terlihat bodoh jika bertanya atau menjawab ini? Jangan sampai malah mendapat respon ditertawakan atau bahkan dimarah oleh guru dan teman-teman sekelas”. Apakah kamu juga mengalami hal ini sepanjang kamu bersekolah kawan? Mungkin tidak semua mengalami, namun aku tahu itu mayoritas dalam sistem pendidikan kita yang berjalan selama ini.

Di sini hal itu tidak berlaku. Semua bebas bertanya, bebas berpendapat, bebas menjawab sebebas-bebasnya tanpa tekanan, bahkan untuk menjawab “saya tidak mau menjawab pertanyaan Bapak/Ibu”, dan dosen tidak akan marah, aku membayangkan jika aku menjawab dengan jawaban yang sama ke guruku dulu, wow… Namun tentunya, di negeri yang sekali lagi “sangat membebaskan” ini, semuanya beretika, sangat berkebalikan dengan negriku yang katanya negri “beragama dan beretika”.

Well, sekali lagi aku hanya ingin menampilkan pendapatku selama beberapa waktu berada dalam dunia pendidikan di negri Belanda ini. Sekali lagi ini pendapat pribadi, sebagai awam alias bukan seseorang dengan background ilmu pendidikan.

Sikap berani untuk mengungkapkan pendapat atau menagjukan pertanyaan adalah sikap yang harus ditumbuhkan semenjak kecil, sikap yang sulit sekali untuk “disulap” ketika kita menginjak dewasa. Dan tentunya ini harus ditumbuhkan dan dipupuk sejak dalam pendidikan dasar. Sekali lagi aku mencoba melirik (dengan bertanya tentang system pendidikan SD disini), dan ya itu benar, bagaimana mereka belajar di kelas sama sekali berbeda dengan cara belajarku ketika SD dulu. Aku semakin tertarik untuk mencari tahu bagaimana system pendidikan dasar mereka sehingga bisa menghasilkan manusia-manusia “beradab” (baca: beretika, cerdas, menghormati orang lain, on-time, antri, penuh dengan passion dan terpenting independen), ah sangat menarik. Dari buku Tottochan dan Pendidikan Berbasis Karakter sesungguhnya aku sudah mendapatkan banyak gambaran bagaimana pendidikan dasar seharusnya dijalankan, dan ketika disini, rasanya semakin nyata semua mimpi untuk merealisasikan pendidikan dasar yang sangat menjanjikan bagi kecemerlangan masa depan anak-anak ibu Pertiwi, untuk kecemerlangan negeriku di masa depan! Tentu saja tidak semudah dan sesederhana yang kubayangkan karena aku tidak memiliki bekal ilmu pendidikan dan juga manajemen pendidikan, apalagi modal, aku hanya melihat dari outcome yang diharapkan dan merunut kebelakang seperti apa idealnya pendidikan itu, yang bukan hanya menciptakan anak-anak dengan kemampuan matematika, IPA, IPS dll di atas rata-rata, namun jauh melebihi itu semua, pendidikan harus mampu menciptakan anak-anak yang cerdas, tangguh dan berkarakter sesuai dengan bakat dan minat yang dimiliki masing-masing anak, tanpa paksaan. I wish….

Oh ya, satu hal penting, disini spesialisasi pendidikan dilakukan semenjak sekolah dasar dan bukannya di tingkat SMA atau bahkan tingkat kuliah. Guru akan mengamati dan mengevaluasi murid apakah si anak sebaiknya tetap mengikuti sekolah umum atau sebaiknya diarahkan ke sekolah-sekolah yang lebih menekankan kepada bakat dan minat si anak. Seperti yang dialami oleh cucu salah seorang keturunan Indonesia disini, hasil evaluasi terhadap si cucu ternyata si anak sebaiknya diarahkan bukan ke sekolah umum karena prestasinya stagnan. Dan benar, ketika sudah berada di sekolah yang berbasis minat dan bakat, prestasinya meningkat tajam. Intinya, sedini mungkin melihat minat dan bakat seorang anak untuk lebih mengoptimalkan potensinya. Tidak seperti aku yang ketika lulus SMA bingung untuk memilih jurusan apa karena tidak tahu cita-cita sesungguhnya ingin kemana, dan bahkan ketika lulus kuliahpun masih bingung ingin berkarir di bidang apa. Cita-cita sesungguhnya ingin menjadi guru anak-anak namun karena pd saat lulus SMA jurusan keguruan sangat tidak bergengsi dan profesi guru juga tidak bergengsi, sehingga terlanjur menempuh jurusan teknik yang melenceng dari mimpi hampir 180 derajat. Antara cita-cita (intuisi) vs pendidikan yg telah ditempuh, antara mimpi vs realita: gak nyambung!!

Masalahnya aku yakin bahwa aku tidak mengalami ini sendiri, namun banyak yang lain yang tidak tahu bakatnya kemana, harus melakukan apa untuk mengejar mimpinya, dan bahkan banyak juga yang tidak tahu mimpinya ingin kemana. Aku tidak menginginkan ini dialami lagi oleh generasi berikutnya, aku ingin mereka tahu mimpinya, bakatnya, minatnya, dan kewajiban kitalah utk menyediakan alternatif mimpi seluas-luasnya bagi mereka, tidak cuma sebatas profesi-profesi standar seperti dokter, pilot, polisi, guru dll…namun juga petani, koki, designer, penyanyi, pemusik, seniman, dokter pohon, dll yang dilakukan dengan sepenuh hati dan professional!!

Itulah mimpiku saat ini, untuk berbagi mimpi kepada anak-anak ibu pertiwi. Caranya??

To be continued,
Groningen, 10 Januari 2011. 10.58 pm.

My strongest dream ever...still couldnt be reached :)

Tuhan,
Aku tahu Engkau Maha Tahu atas mimpi yang kuukir dalam setiap malam2ku…
Dan hari ini aku menjadi begitu iri melihat mereka menjadi bagian dalam mimpi2 itu, dan aku sama sekali belum ada di sana
Maafkan aku Tuhan…sejujurnya aku sangat iri.

Oh Tuhan, masih jauhkah perjalanan itu? Masih jauh dari cukupkah bekalku utk itu?
Oh Tuhan, sepenuh hati ku memohon ijinmu untukku berada dalam nyata atas mimpi-mimpi itu
Amien…

Groningen, Januari 2011

(To all guys dedicated themselves to our beloved Ibu Pertiwi http://www.indonesiamengajar.org/)