Berkesempatan mengikuti pendidikan di negeri Belanda sukses menyadarkanku akan banyak hal tentang diriku. Salah satunya mengingatkanku akan mimpi-mimpi lamaku untuk melakukan sesuatu dalam upaya memberikan pendidikan dasar yang lebih baik bagi anak-anak di negeriku. Mimpi-mimpi itu begitu nyata untuk direalisasikan, meskipun entah itu langkah terbaik atau tidak, hanya tekad kuat bahwa “ada sesuatu yang salah dalam pendidikan dasar (khususnya pendidikan dasar standar di pedesaan)”, dan itu yang kualami, dan itu harus diperbaiki. Membaca buku Tottochan, The Little Girl at The Window (Tetsuko Kuronayagi), Laskar Pelangi (Andrea Hirata) dan Sekolah Berbasis Karakter (Ratna Megawangi) beberapa tahun lalu bagaikan pupuk dan siraman air yang semakin menyuburkan mimpi-mimpi itu.
Dan kini, berada dalam kelas international dengan mayoritas adalah student Belanda dan beberapa student dari negara Eropa lainnya, refleks langsung membandingkan dengan diriku, mengapa begitu berbeda? Sama sekali tidak berfikir bahwa kita memiliki intelegensia yang jauh di bawah mereka, karena meskipun tidak berada dalam rata-rata atas di kelas namun merasa cukup bisa mengikuti bersama yang lain. Sekali lagi apa yang berbeda??
Setelah beberapa hari berada di kelas otakku mulai menangkap perbedaan-perbedaan yang terasa sangat nyata. Dari cara mereka bertanya dan menjawab setiap stimulasi pertanyaan dosen tampak bahwa cara mereka berfikir sangat bebas, seolah tanpa batasan-batasan. Sama sekali tidak ada perasaan takut atau sungkan dalam mengutarakan pendapat, bahkan untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang menurutku “pertanyaan bodoh” yang rasanya tidak perlu ditanyakan. Sepanjang pengalamanku bersekolah dari SD, SMP, SMA, S1, aku tidak terbiasa untuk bebas bertanya, berpendapat, atau menjawab sebagai respon atas setiap stimulasi yang diberikan. Sebelum menunjuk tangan aku akan berfikir sejenak untuk menimbang “apakah jawaban ini benar? Apakah pertanyaan ini pantas? Apakah aku tidak akan terlihat bodoh jika bertanya atau menjawab ini? Jangan sampai malah mendapat respon ditertawakan atau bahkan dimarah oleh guru dan teman-teman sekelas”. Apakah kamu juga mengalami hal ini sepanjang kamu bersekolah kawan? Mungkin tidak semua mengalami, namun aku tahu itu mayoritas dalam sistem pendidikan kita yang berjalan selama ini.
Di sini hal itu tidak berlaku. Semua bebas bertanya, bebas berpendapat, bebas menjawab sebebas-bebasnya tanpa tekanan, bahkan untuk menjawab “saya tidak mau menjawab pertanyaan Bapak/Ibu”, dan dosen tidak akan marah, aku membayangkan jika aku menjawab dengan jawaban yang sama ke guruku dulu, wow… Namun tentunya, di negeri yang sekali lagi “sangat membebaskan” ini, semuanya beretika, sangat berkebalikan dengan negriku yang katanya negri “beragama dan beretika”.
Well, sekali lagi aku hanya ingin menampilkan pendapatku selama beberapa waktu berada dalam dunia pendidikan di negri Belanda ini. Sekali lagi ini pendapat pribadi, sebagai awam alias bukan seseorang dengan background ilmu pendidikan.
Sikap berani untuk mengungkapkan pendapat atau menagjukan pertanyaan adalah sikap yang harus ditumbuhkan semenjak kecil, sikap yang sulit sekali untuk “disulap” ketika kita menginjak dewasa. Dan tentunya ini harus ditumbuhkan dan dipupuk sejak dalam pendidikan dasar. Sekali lagi aku mencoba melirik (dengan bertanya tentang system pendidikan SD disini), dan ya itu benar, bagaimana mereka belajar di kelas sama sekali berbeda dengan cara belajarku ketika SD dulu. Aku semakin tertarik untuk mencari tahu bagaimana system pendidikan dasar mereka sehingga bisa menghasilkan manusia-manusia “beradab” (baca: beretika, cerdas, menghormati orang lain, on-time, antri, penuh dengan passion dan terpenting independen), ah sangat menarik. Dari buku Tottochan dan Pendidikan Berbasis Karakter sesungguhnya aku sudah mendapatkan banyak gambaran bagaimana pendidikan dasar seharusnya dijalankan, dan ketika disini, rasanya semakin nyata semua mimpi untuk merealisasikan pendidikan dasar yang sangat menjanjikan bagi kecemerlangan masa depan anak-anak ibu Pertiwi, untuk kecemerlangan negeriku di masa depan! Tentu saja tidak semudah dan sesederhana yang kubayangkan karena aku tidak memiliki bekal ilmu pendidikan dan juga manajemen pendidikan, apalagi modal, aku hanya melihat dari outcome yang diharapkan dan merunut kebelakang seperti apa idealnya pendidikan itu, yang bukan hanya menciptakan anak-anak dengan kemampuan matematika, IPA, IPS dll di atas rata-rata, namun jauh melebihi itu semua, pendidikan harus mampu menciptakan anak-anak yang cerdas, tangguh dan berkarakter sesuai dengan bakat dan minat yang dimiliki masing-masing anak, tanpa paksaan. I wish….
Oh ya, satu hal penting, disini spesialisasi pendidikan dilakukan semenjak sekolah dasar dan bukannya di tingkat SMA atau bahkan tingkat kuliah. Guru akan mengamati dan mengevaluasi murid apakah si anak sebaiknya tetap mengikuti sekolah umum atau sebaiknya diarahkan ke sekolah-sekolah yang lebih menekankan kepada bakat dan minat si anak. Seperti yang dialami oleh cucu salah seorang keturunan Indonesia disini, hasil evaluasi terhadap si cucu ternyata si anak sebaiknya diarahkan bukan ke sekolah umum karena prestasinya stagnan. Dan benar, ketika sudah berada di sekolah yang berbasis minat dan bakat, prestasinya meningkat tajam. Intinya, sedini mungkin melihat minat dan bakat seorang anak untuk lebih mengoptimalkan potensinya. Tidak seperti aku yang ketika lulus SMA bingung untuk memilih jurusan apa karena tidak tahu cita-cita sesungguhnya ingin kemana, dan bahkan ketika lulus kuliahpun masih bingung ingin berkarir di bidang apa. Cita-cita sesungguhnya ingin menjadi guru anak-anak namun karena pd saat lulus SMA jurusan keguruan sangat tidak bergengsi dan profesi guru juga tidak bergengsi, sehingga terlanjur menempuh jurusan teknik yang melenceng dari mimpi hampir 180 derajat. Antara cita-cita (intuisi) vs pendidikan yg telah ditempuh, antara mimpi vs realita: gak nyambung!!
Masalahnya aku yakin bahwa aku tidak mengalami ini sendiri, namun banyak yang lain yang tidak tahu bakatnya kemana, harus melakukan apa untuk mengejar mimpinya, dan bahkan banyak juga yang tidak tahu mimpinya ingin kemana. Aku tidak menginginkan ini dialami lagi oleh generasi berikutnya, aku ingin mereka tahu mimpinya, bakatnya, minatnya, dan kewajiban kitalah utk menyediakan alternatif mimpi seluas-luasnya bagi mereka, tidak cuma sebatas profesi-profesi standar seperti dokter, pilot, polisi, guru dll…namun juga petani, koki, designer, penyanyi, pemusik, seniman, dokter pohon, dll yang dilakukan dengan sepenuh hati dan professional!!
Itulah mimpiku saat ini, untuk berbagi mimpi kepada anak-anak ibu pertiwi. Caranya??
To be continued,
Groningen, 10 Januari 2011. 10.58 pm.
Film Sharkwater Extinction
3 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar