Tersesat! Yup…terlebih lagi jika kita salah memilih jurusan ketika naik bis di terminal or salah memilih track kereta ketika di stasiun. Namun tersesat disini masih dapat “dinikmati” apalagi jika kita tersesat ke perjalanan yg ternyata ternyata penuh dg hal hal yg menarik, seperti yg Paulo Coelho katakan “Sometime the "wrong" train can take us to a fantastic place”, unpredictable journey memang terkadang tdk memberikan banyak pilihan selain menikmati saja apalagi kalau itu membawa kita dalam fantastic journey…
Namun, bagaimana jika konteks salah jurusan ini adalah salah memilih jurusan ketika sekolah? Minat bakat di bidang sosial tp sekolah jurusan eksakta atau sebaliknya, dan bahkan tersesatnya bisa terus berlanjut hingga kuliah atau hingga bekerja. Di negri kita, hal ini akan banyak ditemui karena penjurusan dilakukan ketika SMA dan dengan aturan main yg msh “luas”, jadi kita terpaksa mempelajari sesuatu yg mgkin sebenarnya tdk kita sukai atau kita butuhkan bertahun2. Seperti anak2 yg minat bakatnya di bidang olahraga, seni, desain, memasak dll misalnya, karena penjurusan ini tidak begitu favorit, tidak umum dan tidak “menjanjikan = baca gambling”, maka tetap mereka harus menjalani SMP, SMA, kuliah. Saat ini aku baru menyadari bahwa sistem itu tampak membuang2 umur.
Contoh real adalah aku. Aku akan memulai bercerita ttg perjalanan “salah jurusan” yg aku alami. Ketika SD, aku tidak tahu cita-citaku yg sebenarnya itu apa. Standar seperti yg lain satu saat ingin jadi guru atau dokter, dan pernah ingin menjadi penyanyi juga. Tidak pernah terbersit dlm fikiran ingin menjadi petani atau penyiar TV. Karena dulu yg umum di sebut oleh ibu/bpk guru adalah profesi2 standar termasuk polisi dan pilot, maka ya hanya itulah pilihan yg kami punya. Selanjutnya, ketika SMP, masih tetap tidak ada perubahan berarti dalam urusan per-MIMPI-an, belum memiliki ambisi ingin menjadi apa. Ketika SMA, masih sama. Hanya satu bekal yg kupunya kalau aku lebih suka pelajaran eksakta matematika dan kimia (tanpa fisika dan biologi), karena aku tidak memiliki daya ingatan yg baik utk mata pelajaran sosial. Namun pada saat itu sebenarnya sudah sedikit mengerucut kalau ingin menjadi guru seperti kedua orang tua, yach mungkin guru kimia atau matematika.
Berlanjut hingga lulus dan akan kuliah. Ternyata aku masih bingung ketika akan memilih jurusan. Ingin menjadi guru namun pada saat itu jurusan keguruan tidak begitu diminati, kurang keren dibandingkan jurusan teknik, kedokteran, hubungan internasional dll. Padahal ibuku sudah merayuku untuk masuk fak keguruan saja, dan aku dengan sangat tegas menolak. Alhasil, hanya dengan berdasarkan faktor “keren” aku memilih jurusan teknik kimia, 1: fak teknik tampak keren/macho dan 2: krn aku suka kimia, dan kenapa di Surabaya hanya karena aku ingin lebih tahu ttg Jawa Timur daerah asal kedua org tuaku.
Well, baru mungkin 2 bulan aku sudah merasakan bahwa aku sudah “salah jurusan”. Mata kuliahnya gak banyak kimia tapi fisika, dan ternyata outputnya lebih banyak diarahkan ke industri. OMG. Kemudian aku mengajukan utk pindah jurusan ke orang tuaku, namun orang tuaku hanya menjawab “dulu kamu memilih dg sendiri, tanpa dipaksa, sudah disarankan utk yg lain tp menolak, sekarang tanggung jawab, selesaikan”. Ya sudahlah. Terpaksa aku menyelesaikan kuliah hingga akhirnya lulus juga.
Setelah lulus, gak berminat untuk apply2 ke perusahaan2, karena memang masih gamang inginnya kemana. Ingin jd guru anak2, tp kok ST alias sarjana teknik, mana ada SD/TK yg akan menerima, dan juga rugi sekali sudah susah-susah kuliah teknik sampe rambut menjelang rontok. Sempat melirik ke program master Psikologi Anak di UI, langsung tertahan karena pertanyaan “eh? Nyambungnya dimana? Emang bisa dg background kimia??”, iya juga yaaa…
Trus?? Aku pengen jadi guru, atau petani tp kok gak ada yg nyambung. Mencoba bekerja di industri, 2 kali pindah tempat, dan sempat di salah satu perusahaan multinasional yang pernah kuimpikan ketika kuliah (walau memang tidak ingin lama-lama), selain aku gak suka dengan ritme 8-5 alias dari jam 8 ke jam 5, namun itu semua tidak dapat "memenuhi kepuasan jiwa" melainkan hanya isi dompet. Lagi-lagi aku lebih suka bergaul dg dunia “pendidikan anak2”, tp lagi2 ST kok guru SD. Kemudian jd dosen, satu2nya pilihan yg paling dekat dg “guru”, walaupun bukan guru anak2 tapi aktifitasnya mirip. Namun impianku untuk tetap berkiprah di pendidikan anak2 masih tetap menyala2, khususnya di pedesaan. Mencoba menyediakan perpustakaan mini di rumah untuk bisa diakses anak2 semenjak baru lulus dr kuliah, meskipun sekarang koleksi semakin berkurang karena tidak disertai manajemen dalam mengelolanya, jadi lebih banyak yg dipinjam dan tak kembali.
Dan saat ini ketika sedang menempuh program master dg jurusan yg sama di negri kincir angin, melihat teman2 kuliah dan juga masyarakat dengan culture yang begitu mapan, aku menjadi iri. Aku langsung membandingkan dengan diriku sendiri dan dengan negriku secara umum. Sistem pendidikannya. Daya dan gaya belajar mereka dll.
Setelah lirak lirik kanan kiri, ngobrol kanan kiri, aku tersadar, dan aku tidak ingin apa yg menimpa diriku terjadi pd banyak anak2 lain di negriku. Aku tidak ingin umur mereka tersia2, aku ingin berbagi mimpi, melakukan sesuatu. Mimpiku utk mengenalkan negri dan dunia kepada adik2 khususnya di pedesaan yang sulit mengakses info2 baik dari sekolah, apalagi keluarga dan masyarakat. Mereka harus memulai mimpi mereka sedini mungkin, dan mengupayakan pencapaiannya juga dari sedini mungkin. Mereka harus berani bermimi, karena mimpi adalah gratis, mimpi adalah doa. Jika aku yg juga wong ndeso, yg telat “serius bermimpi”, aku juga bisa ada disini saat ini, tentu mereka yg bisa bermimpi sedari kecil akan dapat mencapai yg jauh jauh jauh lebih dari apa yg Tuhan berikan ke aku. Dan besar harapan akan tumbuh lebih banyak orang2 yang profesional dalam membangun bangsa, karena mereka akan bersekolah dan bekerja dg sepenuh hati, tidak ada lagi salah jurusan.
Jika Tuhan berkenan mempergunakan tangan, otak dan hatiku untuk berjuang di jalan ini, aku senantiasa memohon petunjuk dan kemudahan untuk memulai dan merealisasikannya. Sungguh aku ingin melihat negriku lebih baik, aku ingin melihat binar optimis di mata anak2 yg penuh mimpi untuk masa depannya, masa depan Ibu Pertiwi yang lebih baik...
Groningen, Januari 2011.
Film Sharkwater Extinction
3 tahun yang lalu
2 komentar:
Bagus sekali mbak postingannya/
Oh iya sebelumnya salam kenal, saya Nabila :)
Pas lagi blogwalking tahu2 ketemu blog ini dengan gaya penulisan mbak yang enak dibaca :D
Saya suka dengan kalimat "Mereka harus berani bermimi, karena mimpi adalah gratis, mimpi adalah doa". Satu hal yang membuat anak-anak kurang berani bermimpi adalah orang tua yang terkadang memaksakan kehendaknya. Misalnya pengen anaknya jadi dokter atau profesi dengan "penghasilan tinggi" lainnya. Mungkin sebaiknya para orang tua juga diarahkan untuk mengenal lebih baik lagi potensi & bakat anak2 mereka.
Hai Nabila...salam kenal kembali.
Makasih kalo dibilang bagus, walaupun aslinya gak terbiasa menulis dan kali ini isinya adalah ttg curhatan orang yang nyasar he2, untungnya nyasar di jalan yang baik, Alhamdulillah.
Eniwei, pendidikan di negri kita memang masih sangat kurang mengapresiasi bakat dan minat anak , itu sebabnya orientasi kita hampir sama -secara umum-. Setelah ini saya merencanakn banyak hal utk saya lakukan di Indonesia, khususnya di daerah semoga bisa konsisten dg pilihan yang sangat tidak populer di negri kita.
Posting Komentar