Namanya Sukri, umurnya 9 tahun. Ini kali kedua aku bertemu dengannya, pertemuan sekaligus perkenalan pertama terjadi pada Idul Fitri setahun lalu. Pertemuan hari ini terjadi karena ibunya meninggal tepat kemarin (14 Nopember 2007), dan dia datang ke Lampung bersama ayah dan jenazah ibunya untuk dikuburkan di tanah kelahiran ibunya. Aku melihatnya menangis saat itu sambil meratapi kepergian ibunya karena tidak ada yang akan memasakkan makanan untuk dia dan ayahnya lagi. Dan hari ini -selisih 1 hari ibunya meninggal-, dia sudah tidak menangis lagi. Ketika kutanya, dia menjawab bahwa hidup ini adalah titipan, kalau yang punya alias Yang Diatas sudah mengambil ya kita tidak boleh menyesalinya. Dan dia mengibaratkan jika dia menitip uang kepadaku, aku harus siap setiap saat dia akan mengambilnya kembali, dan jika aku menolak memberikannya kapanpun pada saat dia meminta maka aku salah. Aku hanya bengong mendengar penjelasan itu keluar dari bibir seorang anak berumur 9 tahun ini, dengan segala kepolosannya. Sementara aku masih kerap menangis ketika membayangkan harus kehilangan seseorang yang kusayangi bahkan bukan karena kematian. Penjelasannya adalah pelajaran pertama buatku darinya, hari ini.
Sebelumnya aku sudah mendengar 'keistimewaan' yang diberikan Tuhan kepada Sukri dari mbah putrinya yang juga baru dua hari ini menyadarinya. -Selama ini orang tua Sukri tinggal di pulau Jawa. Mbah putrinya adalah tetanggaku. Dan pertemuanku dengannya hanya terjadi jika orangtuanya sowan ke rumah mbah putrinya-.
Aku bertanya, apakah dia masih ingat padaku –kami hanya pernah bertemu sekali tahun lalu ketika dia ikut dengan ibunya bersilaturahmi dg keluargaku-, dia jawab ingat. Dia ingat dimana rumahku dan mampu menggambarkan arah-arah, tanda dan jarak kerumahku, dia meminjam buku-buku koleksiku pada saat itu. Daya ingatnya sangat hebat, jika kubandingkan dengan diriku yang sudah mulai pelupa mungkin karena memori yang sudah bosan kuperintah untuk mengingat banyak hal atau karena sudah mulai soak dan memerlukan suplemen ginko biloba. Dan seperti mampu membaca fikiranku yang penasaran, tiba-tiba dia menceritakan sambil sesekali memperagakan menit-menit terakhir kronologis meninggalnya sang ibu di depan matanya, yang diceritakannya ketika tanpa sengaja dia melihat sang ibu menarik nafas panjang mungkin sekitar 3 kali, dan selanjutnya dia memeriksa pergelangan tangan, memeriksa nafas di hidung, membuka paksa mata untuk beberapa saat, memeriksa perut dan menempelkan telinga di dada ibunya (semua tahap ini diperagakannya), namun dia tidak lagi melihat tanda kehidupan. Itu pukul 20.20 WIB. Dia menangis dan memanggil ayahnya. Ayahnya datang, memanggil dokter hingga meminjam mobil tetangga untuk membawa ibunya ke RS namun langsung kembali krumah lagi karena RS menyatakan ibunya sudah benar-benar meninggal, kemudian menerima kunjungan belasungkawa dari kerabat ayahnya dan teman-teman kerja, semua diceritakan berurutan dan cepat seakan cuma diceritakan dalam satu tarikan nafasnya. Caranya mengambil keputusan untuk memeriksa beberapa bagian tubuh ibunya apakah masih hidup atau tidak, buatku itu sangat hebat, mengingat sebelumnya sekitar 15 menit sebelumnya dia menggambarkan ibunya masih dalam keadaan baik, mengerjakan pekerjaan rumah seperti biasa setelah pulang kerja pada sore hari, sempat mengingatkan ayahnya untuk memasukkan sepeda motor di luar, mengingatkannya untuk mematikan komputer karena takut komputer itu ‘njebluk’, dan menuju tempat tidur. Lalu bagaimana mungkin dia bisa berfikir ibunya meninggal?? Tapi itulah yang dilakukannya. Sekali lagi, umurnya baru 9 tahun. Dan ini pelajaran kedua buatku, darinya.
Selanjutnya, seperti mampu membaca fikiranku lagi yang masih penasaran dengan ‘keistimewaan’ apalagi yang Tuhan berikan padaya, dia berpesan padaku untuk mendengarkan ceritanya lebih lanjut karena masih banyak hal-hal ‘tidak biasa’ yang akan diceritakannya padaku, tapi menunggu setelah ayahnya selesai tahlilan (pengajian bersama keluarga dan tetangga, selama 7 malam berturut2) malam ini.
Selanjutnya, dia bercerita bahwa ketika ibunya akan meninggal, rumahnya didatangi 5 bayang-bayang putih berpakaian seperti muslim yang akan pergi berhaji ke Mekah, dan 10 bayang-bayang hitam. Yang putih masuk dengan mengucapkan salam, sementara yang hitam masuk seperti berlari tanpa mengucapkan apapun. Ketika kutanya bayang-bayang itu apa, dia jawab dengan mantap sambil menatap mataku, bahwa mereka adalah mahkluk halus. Aku kaget. Dia mengatakan itu dengan entengnya. Dia juga menceritakan tentang mahluk-mahluk lain yang telah menyertainya selama ini. Di sekolah, di rumah, di kuburan (rumahnya berada dekat dengan kuburan, dan ada jalan pintas yang kerap dilewati warga sekitar yang melewati kuburan tersebut). Dia bercerita cepat sekali, setiap ditanya dia langsung menjawab dengan kecepatan komputer pentium terbaru dan berbicara tanpa terpeleset, membuat yang mendengarkan harus menyimak dengan diam dan hati-hati agar tidak terlewat. Aku hanya menangkap kejujuran dan kepolosannya setiap dia berbicara. Tidak mungkin anak seumur dia mampu membuat kebohongan sedemikian detil . Aku bertanya, apakah dia tidak takut dengan mahkluk-mahkluk yang dia gambarkan tadi, dia jawab dengan mantap ‘tidak! Karena kita hanya boleh takut kepada orang tua dan Tuhan’. Oh my God. Pelajaran ketiga.
Aku tidak sanggup mendengar pelajaran-pelajaran berikutnya, karena pertama: saat itu sudah malam pukul 22.19 WIB. Dari rumah mbah putrinya kerumahku aku harus berjalan kaki melewati kebun kakao yang gelap tanpa penerangan. Alasan kedua: bahkan untuk pelajaran ketiga darinya, aku belum mampu untuk melaksanakannya. Yah, aku memang sangat penakut untuk sendiri dan berada pada gelap, sangat takut membayangkan (baru membayangkan saja aku sudah merasa takut) bertemu dengan sesama mahkluk Tuhan yang lazim disebut mahkluk halus itu.
-Lampung, 16 Nopember 07-
Film Sharkwater Extinction
3 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar