Selasa, Juni 21, 2011

Anak-anak TKW itu.

"With you is where I'd rather be. But we're stuck where we are. And it's so hard, you're so far. This long distance is killing me" (Long Distance, Bruno Mars)

Lantunan lagu di atas mengungkapkan beratnya hari-hari berjauhan dengan pasangan jiwa, dan itu benar adanya...saya tidak akan membahas tentang hal ini, meskipun terkadang out of logic, namun saat ini cukuplah bahwa karena ini adalah kodrat dari Tuhan menjodohkan setiap umatnya dengan pasangan jiwanya masing-masing.

Malam ini wajah menahan segala "rasa sakit"-ku seolah tertampar lagi oleh serangkaian kisah TKW yang menuai prihatin, terlebih kasus alm. ibu Ruyati yang mendapatkan hukuman pancung di Arab Saudi dalam perjuangannya mencari nafkah dengan perngorbanan luar biasa meninggalkan suami dan anak-anaknya untuk berapa lama? setahun? dua tahun? atau bahkan 5 tahun? "tahun" adalah satuan bagi lama rata-rata para TKW itu dalam perjuangannya dengan motivasi yang mostly adalah faktor ekonomi, demi cinta untuk keluarganya.

Sebuah keluarga idealnya adalah hidup bersama dalam satu rumah bersama-sama, dan ketika itu tidak terjadi maka potensi "kepincangan" akan terbuka. Itu alamiah.
Fakta bahwa suami istri yang tinggal terpisah, dengan kehidupan seks yang tidak normal akan berpengaruh pada psikologis masing2, itu fakta. Fakta bahwa anak-anak membutuhkan kasih sayang riil dari kedua orang tuanya itu juga fakta. Suami istri yang tinggal bersama masih berpotensi untuk terjadi perselingkuhan atas nama berbagai alasan. Anak-anak yang tinggal dengan orang tua lengkap masih berpotensi untuk terjebak narkoba, free seks, kenakalan remaja dll.
Lalu apa yang dapat kita harapkan dari anak-anak saudara-saudara kita yang terpaksa menjadi TKW atau PRT yang mostly berasal dari keluarga dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah ini?
Berapa banyakkah jumlah mereka?
RIBUAN yang menjadi TKW, RIBUAN atau bahkan JUTAAN yang menjadi PRT, lalu berapa jumlah anak-anak yang ditinggal di DAERAH? dengan pendidikan minimalis yang disediakan pemerintah?
Berapa besar jumlah potensi anak-anak yang akan menjadi estafet pembangunan ke depan?
Adakah potensi mereka mengikuti jejak orang tuanya?
Adakah potensi mereka untuk menjadi kriminal?
Adakah potensi mereka menjadi pengangguran non-skilled, atau malah ada yang tidak seimbang kejiwaannya karena beban hidup yang terlalu berat?
Apakah jawaban kita untuk semua pertanyaan itu...


Mari kita bermain peran sebentar, seandainya kita menjadi mereka, dimana kita hanya bisa mendengar berita tentang kenakalan yg dilakukan oleh anak kita tanpa bisa menasehati karena kita tidak memperhatikan mereka dari hari kehari dan tidak bersama mereka ketika mereka demam atau sakit, atau sekedar bermasalah dengan teman2nya. Kita tidak bisa mendampingi suami ketika dia sakit, ketika sedang stres, dan ketika2 yang lain. Lalu apa yang kita harapkan dari jenis pekerjaan yg seperti ini?…Uang? seberapa banyakkah?...Tanpa keterpaksaan tentu ini sama sekali bukanlah pilihan!

Lalu apa sajakah yang dipikirkan dan dilakukan oleh anggota2 dewan dan pemerintah di atas sana atas fakta-fakta ini? Bertahun-tahun, kisah berulang, lagi dan lagi dengan cerita tragis yang berbeda-beda, dan masihkah mereka hanya berdebat berkepanjangan, tetap mengurus hal-hal yang tidak penting dibanding semua masalah mendasar bangsa ini?

Tuhan, rasanya aku sudah pernah berjanji untuk berhenti mengomel, namun beberapa malam ini hatiku sakit lagi, mungkin juga pengaruh PMS. Namun yach...aku hanya mampu berharap semoga anak2 mereka bisa tumbuh dan berkembang di luar perhitungan -negatif- saya di atas. Bahwa anak-anak itu akan menjadi anak2 dengan mental baja yang tidak terpengaruh lingkungan seburuk apapun, akan menjadi orang2 yang menghargai alam karena dari sanalah mereka banyak bergantung, akan menjadi orang2 yang menghargai artinya perbedaan, akan menjadi orang2 yang cerdas dan ulet karena tertempa kemiskinan dan akan menjadi ‘super kreatif’ karena ‘ketiadaan’, Amiin...

Tidak ada komentar: